SHOLAT
Shalat adalah ibadah yang terpenting
dan utama dalam Islam. Dalam deretan rukun Islam Rasulullah saw. menyebutnya
sebagai yang kedua setelah mengucapkan dua kalimah syahadat (syahadatain).
Rasullah bersabda, “Islam dibangun atas lima pilar: bersaksi bahwa tiada tuhan
selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar
zakat, berhajji ke ka’bah baitullah dan puasa di bulan Ramadlan.” (HR.
Bukhari, No.8 dan HR. Muslim No.16).
Ketika ditanya Malaikat Jibril
mengenai Islam, Rasullah saw. lagi-lagi menyebut shalat pada deretan yang kedua
setelah syahadatain (HR. Muslim, No.8). Orang yang mengingkari salah
satu dari rukun Islam, otomatis menjadi murtad (keluar dari Islam). Abu
Bakar Ash Shidiq ra. ketika menjabat sebagai khalifah setelah Rasullah saw.
wafat, pernah dihebohkan oleh sekelompok orang yang menolak zakat. Bagi Abu
Bakar mereka telah murtad, maka wajib diperangi. Para sahabat bergerak
memerangi mereka. Peristiwa itu terkenal dengan harbul murtaddin.
Ini baru manolak zakat, apalagi menolak shalat.
Ketika menyebutkan ciri-ciri orang
yang bertakwa pada awal surah Al-Baqarah, Allah menerangkan bahwa menegakkan
ibadah shalat adalah ciri kedua setelah beriman kepada yang ghaib (Al-Baqarah:
3). Dari proses bagaimana ibadah shalat ini disyariatkan –lewat kejadian yang
sangat agung dan kita kenal dengan peristiwa Isra’ Mi’raj– Rasulullah
saw. tidak menerima melalui perantara Malaikat Jibril, melainkan Allah swt.
langsung mengajarkannya. Dari sini tampak dengan jelas keagungan ibadah shalat.
Bahwa shalat bukan masalah ijtihadi (baca: hasil kerangan otak manusia
yang bisa ditambah dan diklurangi) melainkan masalah ta’abbudi (baca:
harus diterima apa adanya dengan penuh keta’atan). Sekecil apapun yang akan
kita lakukan dalam shalat harus sesuai dengan apa yang diajarkan Allah langsung
kepada Rasul-Nya, dan yang diajarkan Rasulullah saw. kepada kita.
Bila dalam ibadah haji Rasulullah
saw. bersabda, “Ambillah dariku cara melaksanakan manasik hajimu”, maka
dalam shalat Rasullah bersabda, “shalatlah sebagaiman kamu melihat aku
shalat”. Untuk menjelaskan bagaimana cara Rasullah saw. melaksanakan
shalat, paling tidak ada dua dimensi yang bisa diuraikan dalam pembahasan ini:
dimensi ritual dan dimensi spiritual.
Dimensi Ritual Shalat
Dimensi ritual shalat adalah tata
cara pelaksanaannya, termasuk di dalamnya berapa rakaat dan kapan waktu
masing-masing shalat (shubuh, zhuhur, ashar, maghrib, isya’) yang harus
ditegakkan. Dalam hal ini tidak ada seorang pun dari sahabat Rasulullah saw.,
apa lagi ulama, yang mencoba-coba berusaha merevisi atau menginovasi. Umpamnya
yang empat rakaat dikurangi menjadi tiga, yang tiga ditambah menjadi lima, yang
dua ditambah menjadi empat dan lain sebagainya.
Dalam segi waktu pun tidak ada
seorang ulama yang berani menggeser. Katakanlah waktu shalat Zhuhur digeser ke
waktu dhuha, waktu shalat Maghrib digeser ke Ashar dan sebagainya (perhatikan:
An-Nisa’: 103). Artinya shalat seorang tidak dianggap sah bila dilakukan
sebelum waktunya atau kurang dari jumlah rakakat yang telah ditentukan. Dalam
konteks ini tentu tidak bisa beralasan dengan shalat qashar (memendekkan
jumlah rakaat) atau jama’ taqdim dan ta’khir (menggabung dua
shalat seperti dzhuhur dengan ashar: diawalkan atau diakhirkan) karena
masing-masing dari cara ini ada nashnya (baca: tuntunan dari Alquran dan
sunnah Rasullah saw.; An-Nisa’: 101), dan itupun tidak setiap saat, melainkan
hanya pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan kondisi yang tercantum dalam nash.
Apa yang dibaca dalam shalat juga
tercakup dalam tata cara ini dan harus mengikuti tuntunan Rasulullah. Jadi
tidak bisa membaca apa saja seenaknya. Bila Rasullah memerintahkan agar kita
harus shalat seperti beliau shalat, maka tidak ada alasan lagi bagi kita untuk
menambah-nambah. Termasuk dalam hal menambah adalah membaca terjemahan secara
terang-terangan dalam setiap bacaan yang dibaca dalam shalat. Karena sepanjang
pengetahuan penulis tidak ada nash yang memerintahkan untuk juga membaca
terjemahan bacaan dalam shalat, melainkan hanya perintah bahwa kita harus
mengikuti Rasullah secara ta’abbudi dalam melakukan shalat ini.
Mungkin seorang mengatakan, benar
kita harus mengikuti Rasullah, tapi bagaimana kalau kita tidak mengerti apa
makna bacaan yang kita baca dalam shalat? Bukankah itu justru akan mengurangi
nilai ibadah shalat itu sendiri? Dan kita hadir dalam shalat menjadi seperti
burung beo, mengucapkan sesuatu tetapi tidak paham apa yang kita ucapkan?
Untuk mengerti bacaan dalam shalat,
caranya tidak mesti dengan membaca terjemahannya ketika shalat, melainkan Anda
bisa melakukannya di luar shalat. Sebab, tindakan membaca terjemahan dalam
shalat seperti tindakan seorang pelajar yang menyontek jawaban dalam ruang
ujian. Bila menyontek, jawaban merusak ujian pelajar. Membaca terjemahan dalam
shalat juga merusak shalat. Bila si pelajar beralasan bahwa ia tidak bisa
menjawab kalau tidak nyontek, kita menjawab Anda salah mengapa tidak belajar
sebelum masuk ke ruang ujian. Demikian juga bila seorang beralasan bahwa ia
tidak mengerti kalau tidak membaca terjemahan dalam shalat, kita jawab, Anda
salah mengapa Anda tidak belajar memahami bacaan tersebut di luar shalat.
Mengapa Anda harus dengan mengorbankan shalat, demi memahami bacaan yang Anda
baca dalam shalat? Wong itu bisa Anda lakukan di luar shalat.
Pentingnya mengikuti cara Rasullah
bershalat, ternyata bukan hanya bisa dipahami dari hadits tersebut di atas,
melainkan dalam teks-teks Alquran sangat nampak dengan jelas. Dari segi bahasa
dan gaya ungkap Alquran selalu menggunakan “aqiimush shalaata”
(tegakkankanlah shalat) atau “yuqiimunash sahalat” (menegakkan shalat).
Menariknya, ungkapan seperti ini juga digunakan Rasullah saw. Pada hadits
mengenai pertemuannya dengan Malaikat Jibril, Rasullah bersabda: “watuqiimush
shalata“ (HR. Muslim No.8) dan pada hadits mengenai pilar-pilar Islam
bersabda: “waiqaamish shalati “. (HR. Bukahri No.8 dan HR. Muslim No.16)
Apa makna dari aqiimu atau yuqiimu
di sini? Mengapa kok tidak langsung mengatakan shallu (bershalatlah)
atau yushalluuna (mereka bershalat)? Para ahli tafsir bersepakat bahwa
dalam kata aqiimu atau yuqiimuuna mengandung makna penegasan
bahwa shalat itu harus ditegakkan secara sempurna: baik secara ritual dengan
memenuhi syarat dan rukunnya, tanpa sedikitpun mengurangi atau menambah, maupun
secara spiritual dengan melakukannya secara khusyuk seperti Rasulullah saw.
melakukannya dengan penuh kekhusyukan. Masalah khusyu’ adalah pembahasan
dimensi spiritual shalat yang akan kita bicarakan setelah ini.
Dimensi Spiritual Shalat
Mengikuti cara Rasulullah saw.
shalat tidak cukup hanya dengan menyempurkan dimensi ritulanya saja, melainkan
harus juga diikuti dengan menyempurnakan dimensi spritualnya. Ibarat jasad
dengan ruh, memang seorang bisa hidup bila hanya memenuhi kebutuhan jasadnya,
namun sungguh tidak sempurna bila ruhnya dibiarkan meronta-meronta tanpa
dipenuhi kebutuhannya. Demikian juga shalat, memang secara fikih shalat Anda
sah bila memenuhi syarat dan ruku’nya secara ritual, tapi apa makna shalat Anda
bila tidak diikuti dengan kekhusyukan. Perihal kekhusyukan ini Alquran telah
menjelaskan, “Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan
shalat, dan sesungguhnya shalat itu sangat berat kecuali bagi mereka yang
khusyu.” (Al-Baqarah: 45)
Imam Ibn Katsir, ketika menafsirkan
ayat ini, menyebutkan pendapat para ulama salaf mengenai makna khusyu’ dalam
shalat: Mujahid mengatakan, itu suatu gambaran keimanan yang hakiki. Abul
Aliyah menyebut, alkhasyi’in adalah orang yang dipenuhi rasa takut
kepada Allah. Muqatil bin Hayyanperpendapat, alkhasyi’in itu orang yang
penuh tawadhu’. Dhahhaq mengatakan, alkhasyi’en merupakan orang yang
benar-benar tunduk penuh ketaatan dan ketakutan kepada Allah. (Ibn Katsir, Tafsirul
Qur’anil azhim, Bairut, Darul fikr, 1986, vol. 1, h.133)
Dan pada dasarnya shalat –seperti
yang digambarkan Ustadz Sayyid Quthub– adalah hubungan antara hamba dan
Tuhannya yang dapat menguatkan hati, membekali keyakinan untuk menghadapi
segala kenyataan yang harus dilalui. Rasulullah saw. –kata Sayyid- setiap kali
menghadapi persoalan, selalu segara melaksanakan shalat. (Sayyid Quthub, fii
zhilalil Qur’an, Bairut, Darusy syuruuq, 1985, vol. 1, h. 69)
Dalam hal ini tentu shalat yang
dimaksud bukan sekedar shalat, melainkan shalat yang benar-benar ditegakkan
secara sempurna: memenuhi syarat dan rukunnya, lebih dari itu penuh dengan
kekhusyukan. Karena hanya shalat yang seperti inilah yang akan benar-benar
memberikan ketenangan yang hakiki pada ruhani, dan benar- benar melahirkan
sikap moral yang tinggi, seperti yang dinyatakan dalam Alquran: “dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan)
keji dan mungkar ”. (Al-Ankabut: 45)
Jelas, bahwa hanya shalat yang
khusyu’ yang akan membimbing pelaksananya pada ketenangan dan kemuliaan
perilaku. Oleh sebab itu para ulama terdahulu selalu mengajarkan bagimana kita
menegakkan shalat dengan penuh kekhusyukan. Imam As-Samarqandi dalam bukunya tanbihul
ghafiliin, menulis bab khusus dengan judul: Bab itmamush shalaati wal
khusyu’u fiihaa (Bab menyempurkan dan khusyuk dalam shalat). Disebutkan
dalam buku ini bahwa orang yang sembahyang banyak, tetapi orang yang menegakkan
shalat secara sempurna sedikit. (As Samarqandi, Tanbihul ghafiliin,
Bairut, Darul Kitab al’Araby, 2002, h. 293)
Imam As-Samarqandi benar. Kini kita
menyaksikan orang-orang shalat di mana-mana. Tetapi, berapa dari mereka yang
benar-benar menikmati buah shalatnya, menjaga diri dari perbuatan keji,
perzinaan, korupsi dan lain sebagainya yang termasuk dalam kategori munkar.
Antara Ritual dan Spritual
Ketika Rasulullah saw. memerintahkan
agar kita mengikuti shalat seperti yang beliau lakukan, itu maksudnya mengikuti
secara sempurna: ritual dan spiritual. Ritual artinya menegakkan secara benar
syarat dan rukunnya, spiritual artinya melaksanakannya dengan penuh keikhlsan,
ketundukan dan kekhusyukan.
Kedua dimiensi itu adalah satu kesatuan
tak terpisahkan. Satu dimensi hilang, maka shalat Anda tidak sempurna. Bila
Anda hanya mengutamakan yang spiritual saja, dengan mengabaikan yang ritual
(seperti tidak mengkuti cara-cara shalat Rasulluah secara benar, menambahkan
atau mengurangi, atau meniggalkannya sema sekali) itu tidak sah. Dengan bahasa
lain, shalat yang ditambah dengan menerjemahkan setiap bacaannya ke dalam
bahasa Indonesia, itu bukan shalat yang dicontohkan Rasullah. Maka, itu tidak
disebut shalat, apapun alasan dan tujuannya.
Sebaliknya, bila yang Anda utamakan
hanya yang ritual saja dengan mengabaikan yang spiritual, boleh jadi shalat
Anda sah secara fikih. Tetapi, tidak akan membawa dampak apa-apa pada diri
Anda. Karena yang Anda ambil hanya gerakan shalatnya saja. Sementara ruhani
shalat itu Anda campakkan begitu saja. Bahkan bila yang anda abaikan dari
dimensi spiritual shalat itu adalah keikhlasan, akibatnya fatal. Shalat Anda
menjadi tidak bernilai apa-apa di sisi-Nya. Na’udzubillahi mindzaalika.
Wallahu A’lam bish shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar